Translate

Kamis, 13 Oktober 2016

Patah Hati


credit.img


Pada saat itu jemariku berhenti , mengetuk-ngetuk pintu kenangan yang diam
Tentang kau, aroma jelatang terbakar
Dan pelangi yang gugur di rerumputan

Pada saat itu, aku berhenti menatapmu ketika aku menatapmu
Wajahmu yang menekuk dalam gelisah
Sekeranjang Blackberry yang kau petik dengan jemari bergetar

Pada saat itu,
Segala sesuatu memburam
Kecuali air mataku

Sabtu, 28 Maret 2015

Topeng I



1/
Itulah alasan kenapa kita harus bertukar wajah disetiap keadaan Layla

2/
Karena terkadang
Kita memang perlu berganti rupa
Untuk menyamarkan warna kepedihan yang sebenarnya

3/
Seperti katamu,
Ya... Seperti katamu
Terlalu naif untuk jatuh cinta
Sementara tak ada lagi rosario di dalam jiwa

4/
*
Namun bukankah setiap orang berhak untuk menciptakan dunianya sendiri?
Dalam wajah-wajah abstrak kebohongan
Yang sengaja dibuat hanya untuk menutupi
**
Namun bukankah setiap hati berhak untuk menentukan nasibnya sendiri?
Walau kadang ia tertindas oleh ketidakberdayaan yang kita sebut takdir

5/
Tapi wajahmu adalah jendela jiwaku Layla
Tempat aku tumbuh dan berpaling dari segala duka
Meski seringkali wajah itu penuh dusta
Kadang berkalang luka, kadang berkalang airmata
Namun lebih banyak tersenyum dan tertawa
Sembari mengumbar kebahagiaan semu

6/
Aku mengenalmu Layla
Lebih dari siapapun
Meski tubuhmu itu bukan hanya milikku
Tapi aku rela berbagi
Atau mungkin aku terlalu naif mengatakan kejujuran
Aku enggan berbagi
Dengan tangan-tangan jalang yang selalu menjamahmu

7/
Jadi, maafkanlah aku Layla
Aku terlalu lancang menginginkanmu untuk diriku sendiri
Sementara kau tak ingin

8/
Tahukah kau Layla?
Setiap malam aku bertanya-tanya
Wajah siapa yang akan kau kenakan malam ini?
Apakah wajah yang selalu menularkan tawa, seperti biasanya?

9/
Tapi, apapun wajah yang kau kenakan,
Di mataku kau akan tetap sama Layla
Topeng hitammu tak bisa mengelabuiku
Sebab di mataku, kau tetaplah dia
Perempuan muda berkalang duka
Yang terkecoh oleh kekejaman dunia

~Desy L

Senin, 16 Maret 2015

Balada Cinta Perempuan Bermata Senja



1/
Perempuan bergaun merah muda itu, pastilah kau Riana
Aku masih ingat
Langkah-langkah kakimu yang cepat
Bersiteru dengan keringat yang membanjir di dahimu

2/
Dan tujuanmu kali ini,
Pastilah kantor pos itu Riana
Sebuah gedung peninggalan Belanda yang masih berdiri dengan kokoh
Di tengah kota Jogja
Di titik Nol kilometer yang dahulu selalu kita jadikan tempat nongkrong selepas senja

3/
Riana,,,,
Kau  perempuan bermata paling terang yang masih kutunggu
Walau tahun demi tahun yang kuterima hanya penolakanmu
Namun kau masih kupuja
Di atas segala yang ku punya, kaulah satu-satunya yang bertahta
Dan besarnya cintaku padamu Riana,,,,
Tak mampu diurai dengan seribu kata-kata

4/
Tapi bukankah masa muda telah tertinggal jauh dibelakang?
Rayuan dari puisi kahlil Gibran pun telah mengambang
Namun mengapa kau masih tetap bersetia pada ketiadaan?
Dan memilih mengabaikan sepeti mahar yang kupersiapkan?
Ah Riana, kau hujan bulan Juni yang membawa kelam


Sabtu, 07 Maret 2015

Kepada Lelaki di Pemakaman



Teruntuk kekasihku:

1/
Mungkin kau lupa
Aku menitipkan surat di atas meja penantian
Atau mungkin kau belum membacanya?
Aku tak memperbolehkan kau pulang kemarin malam

Sebab malam ini begitu suram
Kunang-kunang enggan bernyanyi
Dan rembulan tak memiliki apapun untuk dibagikan

2/
Jangan menatap lebih dekat
Pada nama yang tertera disana
Sebab di sana telah dikuburkan bangkai jiwa
Meski cinta yang menjadi pengiring do’a

3/
Bukankah sudah kukatakan padamu?
Jangan menatap lebih dekat
Kau pasti akan menangis
Kau pasti tak akan sanggup mengeja kata demi kata
Yang dibaringkan disana
Bersama kemenangan takdir

4/
Ah
Terlambat bagiku untuk memperingatkanmu lagi
Kau terlanjur beku dalam kediaman
Dan kekasihmu tak kunjung datang

5/
Jadi,
Biarkanlah kuceritakan kepadamu wahai lelaki
Tentang suatu masa ketika perempuanmu masih ada
Ah, aku lupa
Aku selalu melihat kalian berdua
Bergandengan tangan dengan jarak terbuka

Perempuan yang Tertawan Senja




Ia ingin menyanyi sekali lagi
Di bibir pantai
Sembari menyisir rambutnya yang berkibar
Seperti kemarin
Ketika udara masih sama

Tapi siapakah yang bisa menghentikan?
Kapal yang tenggelam
Di pinggiran dermaga tempat ia menambatkan langkah
Aroma solar yang menyengat hidung
Dan bentuk-bentuk abstrak yang menghalangi pandangannya
Akan jingga
Akan senja

Perempuan itu meradang
Lengkingannya mengerat tulang-tulang
Tapi siapakah yang peduli pada seorang perempuan?
Yang meratapi kesucian air yang ia anggap adalah miliknya
Namun dijamah semua orang

Perempuan itu tak pernah beranjak
Dari kilau jingga yang semerbak
Ia tetap bersetia di sana
Menunggu . . .
Segala sesuatu akan berubah
Air yang dicintainya kembali suci
Agar ia bisa memadamkan kobaran api di matanya

Namun sayang,
Waktu takkan pernah sama
Air itu tak berubah
Semakin berkarat
Kotornya terlihat betah
Dan ribuan tangan-tangan jalang ikut menyetubuhinya

Tapi sekali lagi
Perempuan itu tetap berdiam di sana
Ketabahannya sekokoh baja
Tak ada yang bisa mengalahkannya
Jemarinya yang melepuh dirajam masa
Tetap mampu, merampas selimut rasa dingin dari sang malam
Memeras keringat dari hujan terik mentari
Sebab ia tahu
Ia belum kehilangan sesuatu
Senja itu masih miliknya . . .